Di hari ke-12 aku ngebolang akhirnya
berkesempatan berkunjung ke Masjid Jogokariyan Jogjakarta yang fenomenal itu.
Aku nanya ke temen tentang informasi seputar masjid tersebut.
“Kalau Sabtu Ahad Subuh di sana meriah, Mbak.
Ada pasar rakyat selepas Subuh. Kalau Ustadz Salim biasanya jadwalnya Kamis
sore,” seseorang memberi tahu melalui pesan WA.
Baiklah, tak mengapa. Walau ini bukan akhir
pekan atau hari Kamis, setidaknya aku harus sampai ke masjid itu. Di pikiranku,
cukup duduk di dalam masjid, ikut salat berjamaah dan menyempatkan tilawah itu
sudah cukup.
Aku memesan Go Ride menuju ke arah sana.
Transportasi fleksibel dengan harga terjangkau yang cukup membantu selama
aktivitas ngebolang yang aku lakukan.
Dari hotel tempat aku menginap, biayanya Rp25
ribu, lumayan mahal. Tapi kupikir akan banyak hal yang akan kutemukan di sana
nanti.
“Mbak, niki radi tebih nggih masjite.”
“Oh nggik, Pak. Mboten nopo-nopo,” ujarku
pada Bapak Go Ride.
“Njenengan mpun tau mriko?”
“Dereng, Pak.”
“Oh ajeng enten acara nopo?”
“Mboten, kulo ajeng salat mawon teng mriko.
Niku masjite kan terkenal.”
“Lho, nopo nggih?”
“Nggih Pak, saestu.”
“Oo, niku masjid sae manajemene. Melibatkan
warga setempat.”
“Nggih Pak, niku Ustadz Salim seng ngelola
mpon diundang tekan Eropa mriko.”
“Oo nggih tho?”
“Nggih.”
Jogja yang
Ramah
Salah satu beda orang-orang di Kota Jogja dengan orang di kotaku adalah soal ramah tamah. Di sini setiap go ride yang aku tumpangi selalu mengajak ngobrol.
“Njenengan saking Pekanbaru kok saget boso
Jowo?”
“Lah, tonggone kulo tiang Jogja, Pak,”
sahutku tertawa. Sebenarnya aku juga nggak ngerti-ngerti amat bahasa Jawa
wayang ini, hahaha. Harus fokus dan pelan-pelan ngomongnya kan, sudah puluhan
tahun nggak lagi berbahasa halus seperti itu.
“Njenengan mpun teng pundi mawon Mbak sek
paling tebih?”
“Namung teng Pantai Depok,Pak.”
“Lah, pantai niku mpun bioso. Cubi njenengan
mados gunung. Gunung niku sae.”
Ah, si bapak ini manas-manasi aja. Udah tau
aku pengen banget ke gunung tapi belum kesampaian. Akhirnya aku cuma
cengar-cengir mengiyakan.
“Mpun cerak niki Mbak.”
“Oo, nggih.”
“Niki wonten hotele barang, lek ajeng nginep
teng hotele nggih saget,” bapak go ride itu menunjuk bangunan hotel yang tak
jauh dari masjid.
Masjid Toska
Jogokariyan
Aku turun tepat di masjid toska Jogokariyan. Sekitar pukul setengah tiga siang, suasana masjid masih agak sepi.
Penjaga masjid mengarahkan aku meletakkan
sepatu di atas rak. Aku berjalan masuk menuju ke pintu masjid perempuan.
Beberapa orang jamaah perempuan kulihat sedang tilawah.
Kusempatkan sejenak mengambil foto beberapa
sudut masjid. Di sekitar kawasan masjid banyak berdiri kios-kios pedagang
makanan, pakaian, sepatu, dan lainnya. Sebuah lemari minuman terpajang di depan
pintu masuk, minuman gratis untuk pengunjung.
Aku duduk sejenak sambil mengambil Al-Qur’an.
Di lantai atas masjid kudengar suara-suara perempuan yang sedang talaqqi
hafalan. Indah sekali. Kutatap beberapa perempuan yang ada di ruangan masjid,
sebagian juga terlihat sedang mengulang tahsin bacaan dengan benar.
Aku memandang sekitar bangunan masjid. Secara
arsitek sebenarnya biasa saja. Sangat khas dengan bangunan arsitektur Jawa.
Bahkan di ruang salat jamaah perempuan, kupikir itu bukan ruang salat. Lebih
mirip dengan ruang rumah biasa.
Azan berkumandang. Uniknya ternyata jamaah
yang datang ke masjid ini rata-rata juga wisatawan. Dari perbincangan mereka
sebagian logatnya bukan Jawa. Mereka pun berbincang tentang rencana
jalan-jalan. Tak hanya itu, wisatawan itupun menyempatkan berfoto-foto di depan
batu nama masjid.
Ingin sekali aku berlama-lama di masjid ini,
tapi sayang Jogja selalu mendung di petang hari selama aku di sini. Kusempatkan
berjalan keluar melihat beberapa menu kuliner yang dijual.
Pandanganku tertuju pada seorang bapak tua berpeci putih yang sedang berdiri di depan gerobak bakso. Ia salah satu jamaah di masjid tau.
“Baksone setunggal nggih, Pak.” Entah kenapa
aku rasanya ingin sekali menikmati bakso dengan aroma harum tersebut.
Beberapa menit kemudian bakso terhidang.
Namanya bakso tahajud. Jadi nama-nama makanan di sekitar masjid ini diberi
nama-nama seperti itu supaya orang teringat untuk beribadah saat belanja.
“Nasi goreng tahajud nggih wonten, Mbak.
Njenengan pesen nopo?”
“Bakso mawon, Pak.”
Bakso hangat dengan aroma yang sangat khas. Di
tengah hujan aku menikmatinya. Beberapa hari lalu aku juga menikmati semangkuk
bakso di kawasan Malioboro, tapi rasanya tak senikmat ini. Aku sangat percaya
dan tenang menyantapnya. Kupikir inilah berkah orang-orang saleh yang berniaga.
Rasa dagingnya pas, kuahnya pun tidak terlalu kuat penyedap. Cukup mengobati
kerinduanku pada makanan-makanan khas di kotaku.
Hujan semakin deras. Kubayar bakso satu
mangkuk itu seharga 12ribu. Rasanya cukup berkesan di lidah. Di tengah derasnya hujan, aku pulang. Petualangan selanjutnya akan kutuliskan besok.
(Jogjakarta,
19 Januari 2022)
0 Komentar